Oleh: Hasanul Rizqa
Ahlul Bait adalah istilah yang merujuk pada keluarga Nabi Muhammad SAW. Termasuk di antara mereka adalah keturunan Rasulullah SAW dari garis Fathimah az-Zahra, putri beliau yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada Muharram tahun ketiga Hijriyah. Pasangan ini dikaruniai buah hati, yakni antara lain Hasan dan Husain.
Husain bin Ali menurunkan seorang putra bernama Ali al-Ausath. Setelah dewasa, ia kerap disapa kaum Muslimin sebagai Ali Zainal Abidin. Nama itu bermakna, ‘Ali, orang terbaik yang bersembah sujud kepada Allah.’
Narasi tentang Ali Zainal Abidin tidak mungkin dilepaskan dari konteks sejarah umat Islam pasca-Khulafaur rasyidin. Bahkan, agak lebih jauh lagi, yaitu sesudah masa hayat Nabi SAW. Dalam periode tersebut, kaum Muslimin menghadapi banyak masalah internal.
Pada era pemimpin awal Khulafaur rasyidin, Abu Bakar ash-Shiddiq, umat Islam mesti melawan kaum yang murtad. Berlanjut pada zaman kepemimpinan penerusnya, Umar bin Khattab, ekspansi daulah Islam kian meluas. Namun, hal itu kemudian menimbulkan konsekuensi bagi stabilitas politik.
Ketika al-Faruq menjadi khalifah, pasukan Muslimin berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Imperium Sasaniyah. Banyak orang Persia, khususnya kaum bangsawan istana, yang menjadi tawanan dan lalu dibawa ke Madinah. Di ibu kota daulah Islam tersebut, tidak sedikit dari mereka yang masuk Islam secara tulus, tetapi beberapa menyembunyikan sisi kemunafikan.
Satu di antaranya yang masih menyimpan kesumat terhadap Umar bin Khattab ialah Baba Syujauddin alias Abu Lu’lu’ah. Sebelumnya, ia merupakan seorang prajurit Kekaisaran Sasaniyah yang kemudian menjadi tawanan begitu kerajaan majusi tersebut ditaklukkan Muslimin. Setelah beberapa lama dibawa ke Madinah, pada tahun ke-23 Hijriyah Abu Lu’lu’ah menusuk Umar dengan dua belati ketika sang khalifah sedang memimpin shalat berjamaah. Orang Persia ini lalu ditangkap dan dieksekusi mati—sebagian sumber menyebut bunuh diri.
Al-Faruq menjalani perawatan beberapa hari sesudah penusukan itu. Bagaimanapun, ia sempat mengumpulkan para sahabat utama Nabi Muhammad SAW. Mereka diberinya amanah untuk segera bermusyawarah dan menentukan calon amirul mukminin berikutnya. Sebelum forum tersebut sampai pada putusan final, Umar terlebih dahulu berpulang ke rahmatullah.
Disepakatilah bahwa Utsman bin Affan menjadi penerus kepemimpinan. Ketika itu, sang Dzun nurain telah berusia 70 tahun sehingga menjadi khalifah tertua dalam sejarah Khulafaur rasyidin. Pada tahun-tahun awal, pemerintahannya berjalan stabil. Cukup banyak pencapaian terjadi pada periode itu, semisal pembukuan Alquran, perluasan Masjidil Haram, dan ekspansi wilayah daulah Islam yang kian masif.
Namun, sesudah 10 tahun berjalan banyak suara-suara yang mengkritik Utsman bin Affan. Memang, ketika itu sang khalifah sering mengganti banyak gubernur di daerah-daerah dengan sosok-sosok yang kurang cocok dengan masyarakat setempat. Hal itu kemudian memicu sakit hati beberapa tokoh lokal sehingga mereka melakukan protes dengan mendatangi langsung Madinah.
Umumnya, orang-orang yang menentang khalifah itu berasal dari golongan yang baru saja berislam atau bukan dari Madinah. Alhasil, mereka tidak pernah mengalami interaksi langsung dengan Rasulullah SAW dan para sahabat, termasuk Utsman yang adalah pernah menikah dengan dua putri Nabi. Jadilah mereka mudah tersulut oleh berita-berita miring atau bahkan fitnah yang menyasar sang Dzun nurain.
Malapetaka pun pecah. Segerombolan orang menyerbu Madinah dengan tujuan menyerang rumah sang khalifah. Mereka datang dari pelbagai daerah luar Hijaz, termasuk Basrah (Irak). Pada 18 Dzulhijjah 36 H/656 M, para pemberontak ini merangsek masuk dan menyerang secara membabi buta. Mendapati Utsman sedang duduk membaca Alquran di dalam kamar, mereka langsung menusuknya dengan senjata tajam. Menantu Nabi itu gugur sebagai syuhada.
Peristiwa terbunuhnya Utsman menjadi spiral yang menimbulkan masalah-masalah besar di kemudian hari. Masyarakat Madinah yang resah dan kebingungan meminta Ali bin Abi Thalib untuk naik menjadi pemimpin. Sebagai khalifah, sepupu dan sekaligus menantu Nabi itu mesti berjuang ekstra keras untuk meneguhkan stabilitas di seluruh wilayah Islam.
Ia mendapatkan pertentangan dari ‘Aisyah binti Abu Bakar dan, selanjutnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Masing-masing dengan argumentasinya sendiri. Mu’awiyah masih sekabilah dengan Utsman, tetapi saat itu dirinya pun menjabat sebagai gubernur Syam. Pengaruh politiknya di Damaskus secara de facto hampir setara dengan Madinah saat itu.
Adapun ‘Aisyah juga sangat terpukul dengan terbunuhnya Utsman walau dahulu ia secara politik berseberangan dengan almarhum. Sepulang dari Masjidil Haram, putri Abu Bakar itu tidak langsung pulang menuju ke Madinah, tetapi pergi ke Basrah karena terbujuk orang-orang yang tidak suka pada kepemimpinan Ali.
Perang Unta
Tentu saja, Ali berada dalam posisi yang sangat sulit. Sesungguhnya, sejak awal dirinya enggan diangkat menjadi amirul mukminin usai wafatnya Utsman. Namun, keadaannya ketika itu amat dilematis. Kalaupun mundur, putra paman Nabi ini juga tidak bisa. Sebab, mayoritas Muslimin mendesaknya agar bersedia dibaiat demi situasi kondusif Madinah. Akhirnya, ia setuju memikul beban berat itu.
Ali tidak mau menyerahkan para perusuh yang telah membunuh Utsman, mengingat jumlah mereka ribuan orang. ‘Aisyah menganggap penolakan ini sebagai alasan untuk menentang Ali. Sang khalifah pun, menyadari adanya kekuatan yang membahayakan stabilitas, keluar dari Madinah dan menuju Basrah. Inilah latar mulanya palagan yang tercatat sejarah sebagai Perang Unta.
Ada dua sumber tentang permulaan Perang Unta. Pertama, peranan Abdullah bin Saba—yang disebut-sebut sebagai pendiri aliran Syiah. Ketika konfrontasi kian terbuka, dialog terus diupayakan oleh Ali agar ‘Aisyah dan pengikutnya kembali ke Madinah. Maka, kedua kubu bertemu—atau berhadap-hadapan—di Basrah.
Namun, di tengah kegelapan malam Ibnu Saba menyerang pengikut ‘Aisyah. Simpatisan ‘Aisyah mengira, kubu Ali-lah yang memulai keributan. Sementara, Ali sendiri mendapatkan berita dari pengikut Ibnu Saba bahwa simpatisan ‘Aisyah telah menyerbu secara tiba-tiba.
Adapun sumber kedua dituturkan Ali Audah dalam buku biografi Ali bin Abi Thalib (2016). Saat berjumpa di Basrah, Ali bin Abi Thalib mengingatkan seorang simpatisan ‘Aisyah, Zubair bin Awwam, “Ingatkah Anda ketika Rasulullah berkata kepada Anda, engkau akan memerangi aku (Ali) dengan cara yang tak adil?” Mendengar itu, Zubair pun tersadar. Ia lantas kembali kepada ‘Aisyah dan menyatakan keluar.
Awalnya, para pengikut ‘Aisyah hendak meletakkan senjata sesudah mengetahui keputusan Zubair. Namun, tiba-tiba seorang pengikut Ali meregang nyawa akibat terkena lesatan anak panah yang datang dari arah perkemahan kubu ‘Aisyah. Ali sempat menyeru para pengikutnya agar tak membalas. Namun, mereka kian tak sabar.
Kontak senjata pun terjadi tak terelakkan. Saat keributan mereda, ‘Aisyah keluar dari tendanya. Ia diusung dalam sebuah pelangkin berlapis besi yang diletakkan di atas unta besar berselimut kain kulit harimau. Itulah mengapa pertempuran di Basrah ini dinamakan Perang Unta.
Melihat ‘Aisyah diusung, Ali berteriak agar seseorang menebas kaki belakang unta tersebut. Sebab kalau tidak begitu, pertempuran tidak akan benar-benar berhenti. Beberapa hari kemudian, ‘Aisyah dikawal untuk pulang ke Madinah. Baik Ali maupun ‘Aisyah belakangan sama-sama menyesalkan keterlibatan mereka dalam perang tersebut.
Wafatnya Ali
Kira-kira setahun sesudah Perang Unta, Khalifah Ali masih menghadapi kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, khususnya dalam Perang Siffin. Mu’awiyah kala itu adalah gubernur Syam, tetapi pengaruhnya di kawasan luar Arab hampir-hampir menyamai sang khalifah. Sosok yang kelak mendirikan Dinasti Umayyah itu ikut menuding Ali tidak pernah berniat mengadili para pembunuh Utsman. Itulah alasannya memerangi sang amirul mukminin.
Kedua kubu berhadap-hadapan di Siffin pada Juli 657 M. Pertempuran ini akhirnya diupayakan selesai secara damai dengan jalan arbitrase (tahkim). Cara itu sesungguhnya biasa dipakai pada zaman Jahiliyah.
Segolongan pasukan Ali sempat menyuarakan keberatan terhadap langkah tersebut. Suara mereka kian lantang sejak mengetahui, balakangan perwakilan sang khalifah diperdaya dalam arbitrase. Tidak puas dengan keadaan itu, mereka pun meninggalkan kepemimpinan Ali dan membentuk kekuatan sendiri.
Kelompok inilah yang akhirnya terkenal dengan sebutan kaum Khawarij. Menurut Prof Harun Nasution dalam buku Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (1995), nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti ‘keluar.’ Maknanya, mereka adalah yang telah keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Kaum khawarij bahkan memiliki tafsiran sendiri atas dalil, semisal surah al-Maidah ayat 44. Kalimat terakhir dari firman Allah itu berarti, “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah (bi maa anzalallahu), maka mereka itulah orang-orang kafir.” Maka menurut mereka, baik Ali maupun Mu’awiyah sudah menjadi kafir karena menggunakan tahkim, yang merupakan sebuah tradisi Jahiliyah—bukan kepada “bi maa anzalallahu.” Dalam pandangan Khawarij pula, darah orang yang (dinilai) murtad halal untuk ditumpahkan.
Ekstremis Khawarij yang dipimpin Abdullah bin Wahab ar-Rasibi merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Muawiyah. Sang gubernur Syam lolos. Tidak demikian halnya dengan Ali. Ayahanda Hasan dan Husain itu syahid dibunuh saat sedang memimpin shalat subuh di Masjid Kufah.
Api dari Damaskus
Dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak langsung mengambil alih atau mengeklaim kekhalifahan. Sebab, Muslimin—termasuk sejumlah sahabat Nabi—di Irak sepeninggal Ali mengangkat Hasan sebagai khalifah baru.
Cucu Rasulullah itu berkali-kali menawarkan perdamaian kepada kubu Damaskus, tetapi selalu gagal. Hanya beberapa bulan sesudah dibaiat, lelaki yang paras wajahnya sangat mirip Nabi SAW itu meletakkan jabatan. Menurut ijtihadnya, pengunduran diri adalah jalan terbaik demi menyudahi kemelut di tengah umat Islam. Kakak Husain bin Ali itu lalu kembali ke Madinah, menepi dari hingar-bingar politik.
Momen ini dikenang sebagai Tahun Persatuan (Am al-Jama’ah). Meskipun Hasan sudah mengalah, permusuhan justru diteruskan kaum Khawarij dan juga Syiah yang berpusat di Kufah. Kelompok-kelompok itu pun semakin keras menentang Damaskus sejak Mu’awiyah mengganti sistem khalifah dengan monarki absolut—yakni dengan jalan mengangkat putranya sendiri, Yazid sebagai penerus takhta.
Pada 670 M, Hasan wafat. Kira-kira 10 tahun berikutnya, Mu’awiyah meninggal dunia. Selang beberapa lama kemudian, Yazid dan para simpatisannya masih saja menekan Husain agar berbaiat kepada Dinasti Umayyah. Sementara, Husain sendiri menyatakan, baiat telah diberikan kepada kepemimpinan Mu’awiyah, tetapi bukan pada pemberlakuan monarki.
Dalam kondisi demikian, datanglah surat dari sepupunya, Muslim bin Aqil, yang menyatakan bahwa penduduk Kufah—yakni kaum Syiah—siap berbaiat kepada cucu Nabi tersebut dalam melawan Damaskus. Tergerak oleh isi surat itu, Husain memutuskan untuk pergi ke Irak. Padahal, beberapa sahabat sudah memintanya agar tetap tinggal di Kota Nabi. Mereka bahkan mengingatkannya tentang pengkhianatan yang pernah dilakukan orang-orang Kufah terhadap ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Husain sudah terlanjur yakin pada pilihannya ini.
Mengetahui informasi tersebut, Yazid segera menyuruh gubernur Irak, Ubaidullah bin Ziyad, untuk mencegat Husain beserta rombongan. Terjadilah Peristiwa Karbala pada 680 M. Dalam tragedi ini, sang cucu Nabi SAW beserta puluhan sanak famili dan pengikutnya dibunuh secara keji. Sedikit sekali yang selamat. Satu di antaranya adalah Ali Zainal Abidin.
Profil sang teladan
Ali Zainal Abidin lahir pada 5 Sya’ban tahun ke-50 Hijriyah dari pasangan Husain RA dan Syahrbanu—wanita yang adalah cucu kaisar Sasaniyah Kisra. Tidak lama sesudah kelahirannya, ibundanya meninggal dunia. Sejak itu, ia diasuh bibinya, Zainab binti Ali bin Abi Thalib.
Ia turut dalam rombongan Husain di Padang Karbala. Ketika insiden itu terjadi, usianya baru 13 tahun. Keselamatan dirinya dari pembantaian di Karbala adalah sebuah keajaiban. Sebab, kubu Yazid begitu masif memburu tiap anggota keluarga dan pengikut Husain.
Walaupun tidak mengalami masa kelahiran Islam, tapi cucu Ali bin Abi Thalib ini, sangat pandai memahami perkembangan sejarah umat Islam dari waktu ke waktu. Perkembangan kaum Muslimin sepeninggalan buyutnya—Rasulullah SAW—yang penuh rintangan dan tantangan, disikapinya dengan arif.
Oleh karena itu, bila mendengar ada orang yang merendahkan atau meremehkan para sahabat, termasuk para khalifah Rasyidin, ia sangat tertusuk hatinya. Dikisahkan, pada suatu hari, ia menerima kedatangan beberapa orang tamu dari Irak. Dalam percakapanya, mereka mencela Abu Bakar as-Shiddiq dan Ummar bin Khattab.
Ali Zainal Abidin lalu bertanya, “Apakah kalian termasuk kaum Muhajirin yang dalam Alquran (surah al-Hasyr ayat kedelapan) disebut (sebagai) ‘mereka yang diusir dari kampung halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya’?”
“Bukan,” jawab mereka serentak.
“Apakah kalian termasuk kaum Anshar yang dinyatakan dalam Alquran (surah al-Hasyr ayat ke-97) bahwa ‘mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan mereka tidak mempunyai pamrih apa pun dalam memberikan bantuan kepada kaum Muhajirin. Bahkan mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri kendatipun mereka berada dalam kesusahan’?” tanya Ali lagi.
“Bukan.”
Usai menasihati mereka, Ali Zainal Abidin lalu menyuruh para pencela Abu Bakar dan Umar itu pergi dari rumahnya.
Dalam kisah lain, disebutkan bahwa Ali pernah dimaki-maki seseorang di jalan. Sebabnya hanya bahwa dirinya adalah keturunan Ali bin Abi Thalib—kubu yang berseberangan dengan pendiri Dinasti Umayyah dahulu. Maka, cicit Nabi ini dengan tenang mendekati orang yang memakinya itu.
Dari penampilan lawan bicaranya, Zainal Abidin dapat menduga bahwa orang yang mencacinya itu sebenarnya hanyalah suruhan yang mengharapkan upah dari pihak yang membenci Ali. Maka dengan tutur kata lembut ia bertanya, ''Saya sama sekali tidak tahu apa sebab Anda memaki-maki diri saya. Katakanlah terus terang, apakah Anda membutuhkan saya?''
Orang tersebut merasa malu atas pertanyaan Zainal Abidin. Kemudian, lelaki ini pergi.
Petang harinya, Zainal Abidin yang sudah mengetahui kediaman si pemaki datang ke rumah orang tersebut dengan membawa kantong berisi ribuan dirham. Uang tersebut lalu diserahkan kepada lelaki tersebut untuk menenuhi kebutuhannya yang sangat mendesak.
Sambil menerima pemberian itu, orang tadi berkata sambil menangis haru, “Maafkanlah kesalahan saya. Anda memang benar-benar keturunan mulia Rasulullah SAW!”
Sekitar tiga dekade lamanya, Ali Zainal Abidin menetap di Madinah. Kesibukannya ialah mengajarkan ilmu-ilmu agama di Masjid Nabawi. Muridnya berjumlah ratusan dan datang dari berbagai penjuru. Sikapnya yang moderat dan tidak pernah ikut-ikut kubu-kubuan politik menuai simpati mayoritas Muslimin. Bahkan, sering orang-orang yang “termakan” propaganda politis sehingga mencercanya, kemudian berbalik menjadi cinta padanya. Sebab, kemuliaan akhlaknya, termasuk pada para pembenci.
Sikapnya yang lapang dada juga terbukti ketika Madinah dilanda masalah. Marwan bin Hakam, gubernur Madinah yang pro-Umayyah, dikepung pemberontak. Situasi kian pelik sehingga keselamatan sang gubernur dan keluarganya amat terancam.
Tanpa malu-malu, Marwan memohon kepada Ali Zainal Abidin agar mau menjamin keselamatan diri dan keluarganya, beserta seluruh pejabat yang pro-Umayyah di Madinah. Padahal, dalam Insiden karbala lalu Marwan ikut berperan sehingga terjadilah pembantaian atas Husain—ayahanda Zainal Abidin.
Bagaimanapun, Zainal Abidin tidak mendendam. Ia pun bersedia memenuhi permintaan sang gubernur. Maka Marwan beserta keluarga dan para pendukungnya bisa keluar dengan selamat dari Madinah, untuk kemudian pergi ke Damaskus.
Ali Zainal Abidin wafat di Madinah dalam usia 57 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Kompleks Permakaman al-Baqi, berdekatan dengan makam pamannya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib.